Kebebasan pers adalah hal yang begitu diagung-agungkan di Amerika Serikat, begitu pula dengan kebebasan intelektual dalam dunia internet. Namun apa yang terjadi setelah terjadi kasus Wikileaks yang membuat seluruh jajaran pentagon itu kebakaran jenggot? Amerika mengkhianati salah satu pilar terbesar mereka, yaitu kebebasan memperoleh informasi.
SETELAH mendapat tuduhan pelecehan seksual, Julian Assange, sang pendiri situs WikiLeaks, amat mungkin dituntut hukuman pidana melakukan kegiatan mata-mata. Demikian diungkapkan pengacara Assange, Jennifer Robinson, kemarin.
Departemen Kehakiman Amerika Serikat dilaporkan tengah mencari cara untuk menjerat Assange atas aksinya membocorkan ratusan ribu kawat rahasia diplomatik AS. Salah satu alat yang digunakan adalah undang-undang spionase tahun 1917.
Pekan ini, Jaksa Agung AS Eric Holder mengatakan para jaksa penuntut tidak hanya mempertimbangkan tuduhan spionase terhadap Assange. Upaya AS menjegal Assange ini sejatinya adalah indikasi atas puncak kebobrokan politik luar negeri AS.
Tuduhan spionase terhadap Assange sangat bertentangan dengan konstitusi Amerika dan membahayakan semua organisasi media di AS. Surat kabar Jerman, Berliner Zeitung, dalam editorialnya selepas Assange menyerahkan diri ke polisi Inggris Selasa (7/12), menuduh 'Negeri Paman Sam' menerapkan standar ganda.
"Reputasi AS kian rusak ketika mereka membungkam WikiLeaks dan pemimpin redaksinya, Julian Assange, dengan segala cara. Dengan demikian, AS mengkhianati salah satu pilar mereka, yaitu kebebasan memperoleh informasi...," tulis editorial itu.
Namun, sokongan terus mengalir terhadap Assange yang kini mendekam di Penjara Wandsworth di London selatan. Menlu Australia Kevin Rudd menyatakan seharusnya Assange tidak dijadikan kambing hitam atas bocornya 250 ribu dokumen dari jaringan komunikasi diplomatik AS.
"Pemerintah Amerikalah yang bertanggung jawab," kata Rudd. Secara terpisah, para peretas di dunia maya melancarkan serangan ke sejumlah situs institusi keuangan yang memutuskan untuk menunda proses sumbangan ke laman WikiLeaks.
Situs-situs itu antara lain milik perusahaan kartu kredit Visa, MasterCard, Paypal, bank asal Swiss PostFinance, dan jaksa penuntut asal Swedia yang memimpin dakwaan terhadap Assange.
Sekitar 1.000 peretas yang bekerja di bawah payung 'Operation Payback' membuat server situs-situs tersebut macet lantaran kewalahan ketika dimasuki sekian banyak peretas secara bersamaan.
Di mata pakar pertahanan dan keamanan Universitas Indonesia Andi Widjajanto, kebebasan pers adalah hal yang begitu diagung-agungkan AS. Oleh karena itu, sungguh ironis melihat AS akan menjerat Assange dengan berbagai cara.
Menurut Andi, tujuan luhur dari pembocoran dokumen oleh WikiLeaks adalah transparansi. Bagaimanapun, prinsip utama good governance alias tata pemerintahan yang baik adalah keterbukaan. Dan seluruh kebijakan publik tidak perlu ditutup-tutupi. Karena itu Kasus Wikileaks membuktikan Amerika Jilat Ludah sendiri!
Sumber: micom
0 Komentar untuk "Kasus Wikileaks membuktikan Amerika Jilat Ludah sendiri!"
Note: Only a member of this blog may post a comment.